Oleh Amrayadi
Sebuah niat, sejuta makna
perjalanan ini bukanlah sekadar tamasya biasa.
Ia bermula dari sebuah niat tulus dan inisiasi mulia Bapak H. Pammu Lahide yang mengundang Wija Tau Sewo yang berada di Sulawesi Selatan untuk menyeberang lautan, merajut kembali tali silaturahim dengan para perantau tangguh yang kini menetap di
Kalimantan Timur.
Sebuah ikhtiar untuk memastikan bahwa garis keturunan dan
persaudaraan tak lekang oleh jarak dan waktu.
Keberangkatan: Melintasi Selat Makassar 25 Desember dini hari, tepat pukul 03.00, kesunyian Soppeng pecah oleh deru
mesin bis dan iring-iringan 5 mobil pribadi. Sebanyak 27 orang memulai langkah,
sementara 10 orang lainnya bergerak dari Makassar dan Pangkep.
Pukul 06.30,
Pelabuhan Nusantara Parepare menjadi saksi berkumpulnya keluarga besar yang
kini berjumlah 61 orang, setelah bergabungnya keluarga besar H. Pammu dari pihak bapak.
Pukul 07.30, kami menaiki KM Dharma Kartika IX. Dua jam kemudian, kapal
perlahan lepas jangkar membelah Selat Makassar. Perjalanan di atas samudera terasa begitu indah dan mengesankan, dipenuhi canda tawa yang menghangatkan suasana di sepanjang koridor kapal.
Menapaki IKN dan Hangatnya Samarinda Seberang
Setelah bersandar di Pelabuhan Semayang Balikpapan pukul 04.00 pagi, rombongan melanjutkan perjalanan darat menuju Ibu Kota Nusantara (IKN) menggunakan bis dan kendaraan roda empat. Di jantung masa depan Indonesia ini, kami disambut dengan hangat oleh dua bersaudara anak rantau, Bapak Abdul Muin Paena dan Hj. Rosmini Paena, yang menjamu kami dengan makan siang yang nikmat.
Usai menunaikan salat Jumat, rombongan bertolak menuju Kota Samarinda.
Kami tiba di Base Camp Jalan Rukun, Samarinda Seberang—kediaman Bapak H.
Pammu Lahide. Malam itu, suasana rumah begitu meriah oleh kunjungan para
kenalan dan sesama warga Sewo perantau yang datang melepas rindu.
Hari Kedua: Menyisir Mahakam Menuju Jejak Kerajaan
27 Desember, agenda dimulai dengan petualangan air.
Pukul 09.00, Kapal
Pesiar Silaq Maran mulai bergerak menyusuri Sungai Mahakam menuju Tenggarong. Di atas kapal yang melaju tenang, sebuah seremoni khidmat digelar. Di atas kapal, dimulai dari laporan Ketua Panitia, sepatah kata dari lima
perwakilan rombongan, hingga puncaknya: sambutan inspiratif dari Bapak H. Pammu Lahide. Beliau berbagi kisah tentang perjuangan anak rantau menaklukkan tantangan di Bumi Etam, sebuah kisah yang membakar semangat
kami semua.
"Bumi Etam bukan sekadar tempat mencari nafkah, tapi tempat membuktikan ketangguhan jati diri," tutur Bapak H. Pammu Lahide sembari mengisahkan
tentang perjuangan anak rantau yang memotivasi seluruh rombongan.
Hiburan musik elekton kemudian mencairkan suasana, membawa keriangan di tengah aliran sungai.
Pukul 12.15, kapal bersandar di Tenggarong.
Setelah salat berjamaah,
rombongan mengunjungi Museum Mulawarman untuk menapaki sejarah kerajaan tertua di Nusantara.
Pukul 13.30, kami bertolak kembali ke Samarinda
dan menutup hari dengan kunjungan religi ke Masjid Tua Siratal Mustaqim yang
legendaris sebelum kembali ke Base Camp.
Hari Ketiga: Menara Islamic Centre dan Jamuan Batu Besaung
28 Desember.
Sebelum menuju agenda utama, kami mampir ke Islamic Centre.
Sebagian rombongan naik ke menara, menatap kemegahan kota Samarinda dari ketinggian. Perjalanan berlanjut ke Batu Besaung, memenuhi undangan makan siang di kebun milik Bapak Nurdin Mante.
Sambutan di sana luar biasa meriah, bahkan disediakan tenda khusus. Kehadiran keluarga almarhum Masse kian melengkapi kebahagiaan—enam
bersaudara (Mante, Nawang, Irwan, Samsu, Usman, beserta istri, anak, dan cucu) berkumpul menyatu dalam tawa. Sore harinya, rombongan menikmati waktu bebas untuk belanja oleh-oleh, sebelum malamnya berkumpul kembali di Base Camp.
Kepulangan: Rindu yang Terbayar dan Sajian Tradisional
29 Desember pukul 02.00 dini hari kami berpamitan untuk kembali ke tanah Sulawesi. Dengan KM Dharma Kartika IX, kami meninggalkan Pelabuhan
Semayang.
Tepat pukul 04.00 subuh di hari berikutnya, kami tiba di Parepare. Disini, rombongan mulai berpisah menuju domisili masing-masing (Soppeng,Makassar, dan Pangkep).
Rombongan Soppeng melanjutkan perjalanan dengan satu bis dan satu mobil pribadi.
Pukul 05.00 pagi, kami berhenti sejenak untuk bersujud syukur dalam salat Subuh di sebuah masjid. Perjalanan pulang kian manis dengan suguhan
kue khas Bugis—dange, serabi, dan putu—yang dibeli di pinggir jalan dan santap bersama.
Tepat sebelum pukul 08.00 pagi, kami menginjakkan kaki kembali di tanah Sewo dengan hati yang penuh.
"Sebuah perjalanan nan penuh kesan yang tidak hanya memanjakan mata,
tapi juga mengenyangkan jiwa dengan kasih sayang. Semoga silaturahim ini abadi dan dapat terulang kembali."
Sewo, 29 Desember 2024
Amrayadi
Catatan Perjalanan: IKN – Samarinda – Tenggarong
25 – 30 Desember 2025













